Assalamu'alaikum.
Salam
sejahtera, semoga teman-teman tetap dalam lindungan-Nya. Amien.
Saudaraku, Sebagai muslim kita pastinya sudah tidak
asing lagi, ketika melihat dan mendengar bacaan doa qunut subuh ini, doa qunut
subuh yang biasanya dibaca pada waktu i’tidal (yakni berdiri setelah ruku’).
Menurut sebagian imam, hukum membaca doa qunut pada
saat sholat subuh ini adalah sunnah mu’akad (artinya sunnah
yang di kuatkan). Namun, sebagian imam juga ada yang berpendapat bahwasanya doa
qunut tersebut tidak perlu/ tidak usah di lakukan.
Sesungguhnya semuanya itu
tergantung dari keyakinan dan kepercayaan kita masing-masing, dan pada
kesempatan kali ini kami sebagai warga muslim dengan keyakinan penuh terhadap
doa qunut subuh ini, tentunya kami hanya sekedar memberikan dan mengingatkan
bacaan tersebut kepada anda semua, bagi yang lupa dengan bacaan doa qunut ini,
lebih jelasnya silahkan Anda simak langsung berikut ini ;
Bacaan doa qunut Saat Sholat Subuh klik Disini
Uraian
Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang
disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah
pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi’iy.
Pendapat kedua
: Qunut shubuh tidak disyariatkan karena
qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah,
Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah
disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh
dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin
Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama
yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Artinya“Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa alihi wa
sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.
Dikeluarkan oleh ‘Abdurrozzaq
dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thohawy
dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/244,
Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih
no.220, Al-Hakim dalam kitab Al-Arba’in sebagaimana
dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro
1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny
dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh
6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690
dan dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib
Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama’ wat Tafriq
2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq
1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Rozy dari Ar-Robi’
bin Anas dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad
bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul
Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy.
Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata
: “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari
Ar-Robi’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan
Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal
dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata
Abu Zur’ah : “Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas
: “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban :
“Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”
Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul
Ma’ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari
gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang
diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau berkata : “Dan yang
dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-Rozy adalah orang yang memiliki
hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang
pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian
dengannya”.
Dan bagi siapa yang membaca
keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-Rozy ini, ia akan melihat
bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan
yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan
oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau
berkata : “Shoduqun sayi`ul hifzh khususon ‘anil Mughiroh
(Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).
Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut
subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang
mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar
karena 2 sebab :
Satu : Makna yang ditunjukkan oleh
hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah,
sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau
berdo’a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu kaum)”. Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul
Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh
Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.
Kedua : Adanya perbedaan
lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan
dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan
tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang
disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam
qunut pada shalat Subuh”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula
oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.
Kemudian sebagian para ‘ulama syafi’iyah menyebutkan
bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka
mari kita melihat jalan-jalan tersebut :
Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari
Anas bin Malik, beliau berkata :
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam, Abu
Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya
berpisah denga mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang
rawi :
Pertama : ‘Amru bin ‘Ubaid.
Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar
1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al
Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq
no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494.
Dan ‘Amru bin ‘Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan dalam
periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits
(ditinggalkan haditsnya).
Kedua : Isma’il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny
dan Al Baihaqy. Dan Isma’il ini dianggap matrukul hadits
oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.
Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya :
Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihron, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits
bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari
Anas beliau berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa
alihi wa
Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah
dengan beliau”.
Riwayat ini merupakan
kekeliruan dari Ja’far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam
Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418.
Karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru bin
‘Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan beliau
ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da’laj dari Qotadah dari Anas bin Malik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi
wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang
‘Utsman lalu beliau qunut”.
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy
2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits
wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy
sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany
dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata
: “Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid
(pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daruquthny
melemahkannya dan Ibnu Ma’in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi
syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh
(bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang
mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny
mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam
hadits Anas yang lalu, perkataannya “Terus-menerus beliau qunut pada sholat
Subuh hingga beliau meninggalkan dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits Khalid.
Yang ada hanyalah “beliau (nabi) ‘alaihis Salam qunut”, dan ini
adalah perkara yang ma’ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus
melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai
pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)”.
Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari
Dinar bin ‘Abdillah dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam
qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal”.
Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan
dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 695.
Ahmad bin Muhammad yang diberi
gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits
yang terkenal. Dan Dinar bin ‘Abdillah, kata Ibnu ‘Ady : “Mungkarul hadits
(Mungkar haditsnya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Ia meriwayatkan dari
Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab
kecuali untuk mencelanya”.
Kesimpulan pendapat pertama:
Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil
yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa
dikuatkan.
Kemudian anggaplah dalil
mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan
disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa
mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil
oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.
- Doa
- Khusyu’
- Ibadah
- Taat
- Menjalankan ketaatan.
- Penetapan ibadah kepada Allah
- Diam
- Shalat
- Berdiri
- Lamanya berdiri
- Terus menerus dalam ketaatan
Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam
Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur’an karya Al-Ashbahany hal.
428 dan lain-lain.
Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap
qunut subuh terus-menerus itu sunnah.
Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat
Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua)
di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal)
berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa
dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah
bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kaum
mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan
jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan
yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah
Lihyan, Ri’lu, Dzakwan dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala
telah turun ayat : “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu
atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim”. (HSR.Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya
qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya
qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab
ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara
itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang
mengetahui perkara yang ghoib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary –
Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Dari Abi Hurairah radliyallahu
`anhu beliau berkata : “Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian
cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu
Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ dan Shubuh. Beliau mendoakan
kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”.
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata qunut nazilah
telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara
sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.
Dalil Pendapat Ketiga
Satu : Hadits Sa’ad bin Thoriq
bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku :
“Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa
alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu
‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada
sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh)
adalah perkara baru (bid’ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080
dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472
dan 6/394, Ath-Thoyalisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al
Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany
8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan
no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah
8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy
dalam Tahdzibul Kamal dan dishohihkan oleh syeikh
Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh
Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shohihain.
Dua : Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : “صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ”. فَقُلْتُ : “آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ”, قَالَ : “مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ”.
“ Dari Abu Mijlaz beliau
berkata : saya sholat bersama Ibnu ‘Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut.
Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya).
Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1\246, Al-Baihaqy 2\213
dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id
2\137 dan Al-Haitsamy berkata :”rawi-rawinya tsiqoh”.
Ketiga : tidak ada dalil yang shohih
menunjukkan disyari’atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara
terus-menerus.
Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal
dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar diatas, bahkan
syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa
berkata : “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka
menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid’ah”.
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang
yang berpendapat disyari’atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat
bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shohih tapi tidak ada
pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas menunjukkan mereka
melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai
berhujjah.
Keenam : setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka
sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari’atkannya qunut shubuh secara
terus-menerus dengan membaca do’a qunut “Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai
akhir do’a kemudian diaminkan oleh para ma’mum, andaikan hal tersebut dilakukan
secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan
yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini
adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh
banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.
Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah
dalam Zadul Ma’ad.
Kesimpulan
Jelaslah dari uraian di atas
lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga
memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain
qunut nazilah adalah bid’ah tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a’lam.